Umat Katolik Paroki St. Eduardus Watunggong membludak hadiri Perayaan Rabu Abu sebagai tanda awal pembukaan masa puasa dan moment memaskui masa Pra-Paskah dengan doa, berpuasa dan pantang, pertobatan, beramal. Umat dengan tenang dan penuh penghayatan menerima abu di dahi sebagai tanda kerapuhan untuk mendapatkan rahmat pengampunan dari Allah.
Rabu Abu adalah hari pertama pantang dan puasa, para umat Kristiani akan menghindari beberapa makanan atau berpuasa makan kenyang sekali sehari. Tahun ini, Perayaan Rabu Abu terjadi pada tanggal 05 Maret 2025.
Di Paroki St. Eduardus Watunggong, Desa Satar Nawang-Congkar, Manggarai Timur, NTT, perayaan Rabu Abu dimulai tepat pukul 08.00 Wita. Pantauan kami, umat mulai berdatangan ke gereja sejak pukul 06.45 Wita sehingga pada saat perayaan umat membludak.
Perayaan Ekaristi berlangsung hikmat, tenang dan penuh penghayatan akan kerapuhan manusia yang membutuhkan rahmat pengampunan Tuhan.
Perayaan Rabu Abu memang dikhususkan oleh Gereja Katolik sebagai fase pembuka dan penanda peziarahaan umat Katolik selama empat puluh hari dalam pantang dan puasa, doa, beramal dan berkorban.
Untuk diketahui bahwa umat Katolik akan menjalani masa Puasa dan Pantang selama 40 hari menuju Perayaan Tri Hari Suci : Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Tuhan Yesus.
Di hari Rabu Abu, para umat Katolik akan beribadah lalu mendapatkan tanda salib pada dahi mereka dari abu daun palma kering yang dibakar dari perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya. Tanda salib dari abu tersebut menjadi simbol pengingat untuk bertobat dan tidak lagi mengulang dosa-dosa mereka.
Sejak dahulu abu sudah menjadi simbol pertobatan dan kesadaran spiritual bagi umat Kristiani. Hal-hal berkaitan dengan abu sudah berkali-kali disebutkan di dalam Kitab Suci.
Ayub 42:6: “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.”
Yeremia 6: 26: “Hai puteri bangsaku, kenakanlah kain kabung, dan berguling-gulinglah dalam debu! Berkabunglah seperti menangisi seorang anak tunggal, merataplah dengan pahit pedih! Sebab sekonyong-konyong akan datang si pembinasa menyerangmu.”
Daniel 9:3: “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.”
Umat Kristiani zaman dahulu menggunakan abu sebagai penanda pertobatan bahkan di luar perayaan Rabu Abu. Setelah melakukan pertobatan, para umat Kristen akan mendapatkan abu dari pendeta atau imam mereka.
Tercatat umat Katolik melakukan praktik pemberian salib abu ini sejak masa Paus Gregorius I (540-604). Pada tahun 1091, Paus Urban II meminta seluruh gereja untuk membagikan abu pada Rabu Abu.
Umat Katolik Watunggong yang menghadiri Perayaan Ekaristi Rabu Abu terlihat sangat rapi maju menuju Imam dan Akolit yang bertugas mengolesi abu di dahi. Seluruh umat mulai dari anak-anak hingga dewasa sama-sama menerima abu sebagai tanda pertobatan, kembali kepada Allah dan kembali kepada hati.
Rd. Agustinus Sunday Cakputra dalam kotbahnya menjelaskan tentang makna Rabu Abu, Puasa dan Pantang yang benar, Pertobatan yang hakiki sesuai nasihat Yesus sendiri.
Berpuasa tidak harus bermuka muram supaya dilihat orang bahwa kita sedang berpuasa tetapi hendaklah mencuci muka, menggunakan wewangian, biar Tuhan sendiri yang menilai dan memberikan upahnya atas puasamu. Berdoa dan beramal-lah dalam diammu karena Tuhan yang melihatnya akan memberikan upah yang setimpal untukmu.
"Tidak perlu harus pamer kepada orang lain bahwa kamu sedang berpuasa, beramal dan menjalani proses pertobatan. Berpuasa dan bertobat itu bukan tentang orang lain yang harus melihat melainkan tentang hubungan kita dengan Tuhan, itulah yang disebut pertobatan sejati", demkian kata RD. Sandy.
Secara umum, perayaan Rabu Abu di Paroki St. Eduardus Watunggong berjalan aman, lancar dan penuh keheningan sebagai tanda memulai puasa dan pertobatan, menjalani masa ret-ret agung selama empat puluh hari.***