Orang kudus Katolik yang diperingati hari ini merupakan pribadi-pribadi yang setia, taat dan kokoh dalam iman akan Kristus. mereka bahkan rela mati sebagai martir untuk mempertahankan imannya. Pewartaan akan Kristus yang adalah Tuhan dilakakun dengan berani disampaikan kepada mereka yang belum mengenal Kristus.
Santo André de Soveral,SJ (Andreas de Soveral) adalah salah seorang dari 30 Martir Brazil. Ia lahir di São Vicente, São Paulo, Brasil pada tahun 1572. Pada tahun 1593 André masuk biara Serikat Jesus dan menjalani masa novisiat di Bahia, sebelah Timur Laut Brazil. André diketahui mahir dalam bahasa Latin dan berbakat dalam bidang Teologi. Ia lalu dikirim untuk melanjutkan studinya di Semainari Tinggi di Olinda.
Setelah ditahbiskan menjadi imam, tugas pertama pater Andre adalah menjadi missionaris di Natal, Rio Grande do Norte. Disini ia berkarya dengan gemilang dan membawa ribuan “Potiguara” kedalam iman Katolik.
Sejak tahun 1614 pater Andre diangkat menjadi pastor paroki di Cunhaú.
Pada pagi hari Minggu 16 Juli 1645, Andre de Soveral bersama umat Katolik hendak merayakan misa kudus di Kapela Santa Maria di Cunhau Natal, Rio Grande do Norte. Tiba-tiba muncul sekelompok tentara Belanda dan mulai membantai umat Katolik dalam Kapela tersebut. Dari 70 orang martir yang tewas dalam peristiwa pembantaian ini, hanya ada dua nama yang tercatat; Santo Andre de Soveral Sj (imam), dan Santo Domingos Carvalho (awam).
Orang kudus ini disebut Ewald the black karena ia memiliki rambut berwarna hitam dan untuk membedakannya dengan seorang rekannya yang juga bernama Ewald yang berambut pirang (Ewald the fair). Sebagian tradisi menyebutkan bahwa dua orang kudus bernama Ewald ini bersaudara, namun tidak terdapat catatan yang mendukung pernyataan tersebut.
Dua orang kudus bernama Ewald ini berasal dari daerah yang sama yaitu Northumbria, Inggris. Mereka berdua bersama-sama melanjutkan studi di Irlandia sampai ditahbiskan menjadi imam. Bersama Santo Wilibrodus, keduanya berkarya sebagai misionaris. Mula-mula mereka berkarya di Antwerpen, Belgia. Dari sana mereka melancarkan pewartaan Injil kepada suku-suku bangsa yang masih kafir di wilayah-wilayah sekitar. Semangat mereka untuk mempertobatkan bangsa-bangsa kafir mendesak keduanya mewartakan Injil diantara orang-orang Saxon yang masih kafir.
Pada tahun 690 dua Ewald ini tiba di wilayah bangsa Saxon di Westpalia. Kedatangan mereka diterima baik oleh kepala suku disitu dengan penuh tanda tanya. Seluruh penduduk memandang mereka dengan penuh kecemasan dan kecurigaan. Mereka dicurigai sebagai orang-orang jahat yang membahayakan kemerdekaan bangsa Saxon. Oleh karena itu, keduanya diserang dan dipukuli dengan gada. Ewald si pirang mati seketika itu juga; sedangkan Ewald berambut hitam tidak mau menyerah begitu saja. Ia masih berbicara untuk menerangkan maksud utama kedatangan mereka. Namun usahanya ini sia-sia. Ia bahkan disiksa dengan lebih mengerikan sampai tewas mengenaskan.
Tubuh kedua orang martir ini lalu dilemparkan ke Sungai Rhine, tetapi secara ajaib kedua jasad tersebut dipindahkan 40 km sebelah hulu ke tempat di mana teman-temannya sedang berkemah. Keduanya lalu dimakamkan di tempat pemakaman yang sama.
Pada tahun 1121 Relikwi Santo Ewald the Black dan Santo Ewald the Fair dipindahkan ke biara Premonstratensian di Namur oleh Santo Nobertus. Tahun 1534 biara ini diserbu oleh kaum Anabaptis dan Relikwi kedua orang martir ini dihancurkan.
Gereja menghormati kedua orang kudus ini sebagai misionaris dan martir yang mati terbunuh dalam karya pewartaannya di kalangan orang-orang kafir.
Orang kudus ini disebut Ewald the black karena ia memiliki rambut berwarna hitam dan untuk membedakannya dengan seorang rekannya yang juga bernama Ewald yang berambut pirang (Ewald the fair). Sebagian tradisi menyebutkan bahwa dua orang kudus bernama Ewald ini bersaudara, namun tidak terdapat catatan yang mendukung pernyataan tersebut.
Dua orang kudus bernama Ewald ini berasal dari daerah yang sama yaitu Northumbria, Inggris. Mereka berdua bersama-sama melanjutkan studi di Irlandia sampai ditahbiskan menjadi imam. Bersama Santo Wilibrodus, keduanya berkarya sebagai misionaris. Mula-mula mereka berkarya di Antwerpen, Belgia. Dari sana mereka melancarkan pewartaan Injil kepada suku-suku bangsa yang masih kafir di wilayah-wilayah sekitar. Semangat mereka untuk mempertobatkan bangsa-bangsa kafir mendesak keduanya mewartakan Injil diantara orang-orang Saxon yang masih kafir.
Pada tahun 690 dua Ewald ini tiba di wilayah bangsa Saxon di Westpalia. Kedatangan mereka diterima baik oleh kepala suku disitu dengan penuh tanda tanya. Seluruh penduduk memandang mereka dengan penuh kecemasan dan kecurigaan. Mereka dicurigai sebagai orang-orang jahat yang membahayakan kemerdekaan bangsa Saxon. Oleh karena itu, keduanya diserang dan dipukuli dengan gada. Ewald si pirang mati seketika itu juga; sedangkan Ewald berambut hitam tidak mau menyerah begitu saja. Ia masih berbicara untuk menerangkan maksud utama kedatangan mereka. Namun usahanya ini sia-sia. Ia bahkan disiksa dengan lebih mengerikan sampai tewas mengenaskan.
Tubuh kedua orang martir ini lalu dilemparkan ke Sungai Rhine, tetapi secara ajaib kedua jasad tersebut dipindahkan 40 km sebelah hulu ke tempat di mana teman-temannya sedang berkemah. Keduanya lalu dimakamkan di tempat pemakaman yang sama.
Pada tahun 1121 Relikwi Santo Ewald the Black dan Santo Ewald the Fair dipindahkan ke biara Premonstratensian di Namur oleh Santo Nobertus. Tahun 1534 biara ini diserbu oleh kaum Anabaptis dan Relikwi kedua orang martir ini dihancurkan.
Gereja menghormati kedua orang kudus ini sebagai misionaris dan martir yang mati terbunuh dalam karya pewartaannya di kalangan orang-orang kafir.
Gerardus dilahirkan dalam keluarga bangsawan Belgia yang kaya raya. Keluarganya adalah Punggawa dari Count of Namur dan ia dibesarkan dalam lingkungan para aristokrat. Namun Geradus tidak tumbuh menjadi seorang yang sombong. Sebaliknya ia merasa kecewa dengan kehidupan glamour di istana, dan menjadi malu atas sekian banyak keistimewaan yang diterima keluarganya sebagai bangsawan. Dikemudian hari Gerardus menyadari bahwa ia dipanggil untuk menjalani hidup yang lebih religius.
Ia dikenal sebagai seorang yang baik hati dan sangat bersahabat. Biasanya sepulang dari pergi berburu, ia dan kawan-kawannya kembali ke rumah dalam keadaan capai dan lapar. Setelah mengundang teman-temannya masuk untuk makan minum dan beristirahat, ia sendiri diam-diam menyelinap pergi menuju sebuah kapel kecil yang berada dalam wilayah tanah miliknya. Disana ia akan berdoa untuk jangka waktu yang lama. Tubuhnya yang lelah pun beristirahat dan ia lupa sama sekali mengenai rasa laparnya.
Gagasan muncul di benak Gerardus, andai saja orang banyak menyadari sukacita doa, maka pastilah mereka akan dengan lebih suka hati berdoa. Kemudian pikirannya pun melayang kepada para biarawan yang melewatkan sepanjang hidup mereka menyampaikan puji-pujian kepada Tuhan. Bayangkan betapa mereka beroleh hak istimewa, pikirnya. Maka berdoalah ia memohon kesempatan untuk mendapatkan panggilan religius.
Gerard menemukan bahwa biara-biara di Belgia terlalu longgar dalam disiplin mereka. Ketika mengunjungi Prancis pada Tahun 917 untuk sebuah misi dari Count of Namur, Gerard terpesona melihat kehidupan para biarawan Saint Denis yang begitu ketat dan penuh disiplin. Dia lalu meninggalkan segala urusan duniawinya, dan bergabung dengan biara tersebut. Gerards mencintai kehidupan yang telah dipilihnya dan setelah menamatkan pendidikan ia ditahbiskan menjadi seorang imam.
Gerard begitu penuh semangat dalam kehidupan membiara. Ia menjadi contoh bagi para rahib lainnya dalam mengikuti Peraturan, dan dalam pengabdiannya untuk berdoa. Hidupnya, dan dorongan dari saudara-saudara, membantu biara Saint Denis menjadi contoh bagi biara-biara lain di seluruh Eropa.
Ia telah melewatkan sebelas tahun hidupnya sebagai seorang biarawan ketika kepadanya diberikan ijin untuk mendirikan suatu biara baru di tanah miliknya di Brogne. Biara berkembang, tetapi Gerardus merasa terlalu banyak aktivitas dan kesenangan di sana. Sebab itu ia membangun bagi dirinya sendiri sebuah gubug pertapaan di samping gereja dan tinggal di sana dengan tenang seorang diri.
Tetapi, ia tidak dibiarkan tinggal dalam damai untuk waktu yang lama. Para superior meminta Gerardus untuk mengunjungi biara-biara di Flanders dan Normandy. Para biarawan membutuhkan bimbingan dan pertolongan agar mereka dapat lebih bertekun. Tugas ini menghantar Gerardus dalam banyak perjalanan selama duapuluh tahun.
Sepanjang hidupnya Gerardus hidup dengan cara hidup yang ketat penuh matiraga. Ia melakukannya sebab ia ingin membuktikan cintanya kepada Yesus. Ia menunjukkan kasihnya itu dengan suka hati mempersembahkan tindakan-tindakan kecil penyangkalan diri. Ketika tahu bahwa masa hidupnya di dunia akan segera berakhir, ia minta agar diijinkan kembali pulang ke gubug pertapaannya di Brogne. Ijin diberikan. Gerardus wafat dalam damai di pertapaannya pada tanggal 3 Oktober 959.
Karya Missionaris di Natal Rio Grande do Norte, Brasil dimulai pada tanggal 25 Desember 1597 ketika missionaris Jesuir dan Fransiskan tiba di wilayah yang saat itu dikuasai Kerajaan Portugis. Dalam beberapa tahun karya missionaris berkembang dengan pesat. Bangsa pribumi Amerika dengan mudah menerima pewartaan iman oleh para misionaris berkebangsaan Portugis yang terkenal ramah dan rendah hati. Mereka berbondong-bondong datang dan minta dibabtis menjadi anggota Gereja Kudus.
Namun pada tahun 1630, Natal Rio Grande do Norte diserang dan dikuasai oleh Belanda. Pendudukan bangsa Calvinist Belanda di wilayah ini adalah mimpi buruk bagi karya missionaris dan umat Katholik. Pemerintah Kolonial Belanda menjalankan kebijakan anti Gereja Katolik dan kaum fanatik Calvinis secara sistematis menganiaya umat Katholik.
Pada hari Minggu 16 Juli 1645 di Cunhau, Natal, Pater Andre de Soveral, seorang imam Jesuit bersama 69 umat Katolik tengah berkumpul di Kapela Santa Maria untuk merayakan misa kudus. Sebelum misa mulai, tiba-tiba muncul sekelompok tentara Belanda dan mulai membantai umat Katolik dalam Kapela tersebut. Santo Andre de Soveral,SJ, Santo Domingos Carvalho dan puluhan umat Katholik tewas dalam pembantaian ini.
Tanggal 3 Oktober 1645, sekelompok tentara Belanda bersama sekitar 200 orang suku Indian bersenjata, menyerang umat Katolik yang tengah beribadah. 28 orang tewas dalam pembantaian ini. Diantaranya; Santo Estêvão Machado de Miranda yang tewas bersama dua orang putrinya dan Santo João Martins yang tewas bersama enam orang teman yang namanya tidak tercatat. Santo Manuel Rodrigues de Moura juga terbunuh bersama isterinya, dan Santo Mateus Moreira, seorang katekis awam dan pemimpin umat setempat, sesaat sebelum tewas ditembak masih berseru dengan suara lantang : "Terpujilah Sakramen Mahakudus".
Penganiayaan umat Allah di Brazil baru berakhir setelah Belanda ditaklukkan Portugis dalam perang Guararapes (The Second Battle of Guararapes) yang mengakhiri kekuasaan Belanda di Wilayah Amerika Selatan.
Proses kanonisasi para Martir Kristus ini dimulai pada tanggal 6 Juni 1989 setelah Congregatio de Causis Sanctorum (Kongregasi bagi Penyebab Penganugerahan Gelar Santo-Santa) resmi mengeluarkan "Nihil Obstat" dan memaklumkan para Martir Natal / Para Martir Brazil sebagai Servant of God (Hamba Allah).
Pada tanggal 10 November 1998. Paus Yohanes Paulus II memaklumkan bahwa para Marir Natal telah dibunuh "In Odium Fidei" (karena kebencian akan iman) dan menyetujui proses beatifikasi mereka. Dua tahun kemudian paus memimpin misa beatifikasi para Martir Natal di Basilika Santo Petrus Roma pada tanggal 5 Maret 2000.
Para Pahlawan ini dikanonisasi oleh Paus Fransiskus di Basilika Santo Petrus Roma pada tanggal 15 Oktober 2017 dan Pesta bersama dirayakan pada setiap tanggal 3 Oktober.
Berikut daftar nama Para Martir Natal :