Hari ini Gereja memperingati St. Karolus dan kawan-kawan Lwanga, Martir di Uganda Afrika. Kemartiran mereka adalah semangat pewartaan Gereja yang gigih memperjuangkan dan mempertahankan Iman akan Kristus. Ukuran kegigihan mereka berdasarkan semangat tak henti mengubah budaya primitif orang Uganda yang masih melekat dengan tindakan tindakan kriminal, tidak bermoral, dan susah menerima hal baru. Tentu saja, perjuangan mereka tidak gampang dengan sekadar mewarta dengan kata-kata, tetapi dengan usaha merombak dan memperbaharui cara hidup. Kisah kemartiran ini dipertegas dalam Injil yang kita dengar hari ini. Allah sang pemilik kebun anggur memberi kepercayaan kepada penggarap untuk menggarap kebun anggur supaya menghasilkan buah pada saatnya. Ketika musim panen tiba, para penggarap justru ingin mengambil semua hasil panenan dan berusaha menyangkal kepemilikan Allah atas kebun anggur. Para utusan dikirimkan untuk mengambil hasil, tapi utusan itu ditolak, dipukul, dipermalukan bahkan dibunuh. Putera Allah sendiri yang diutus pun dibunuh. Kisah ini adalah gambaran kehidupan manusia. Bagaimana pun, Allah adalah pemilik segala sesuatu. Para nabi telah diutus ke dunia, tetapi rupa rupanya kehadiran dan pewartaan mereka mendapatkan penolakan yang hebat. Allah mengutus Yesus puteraNya pun juga ditolak dan berujung pada peristiwa penyaliban. Akan tetapi, peristiwa itu bukan tanda kemenangan dunia tanpa Allah, tetapi kemenangan Allah atas dunia. Melalui salib, perubahan besar terjadi dan Gereja pun berdiri kokoh hingga sekarang. Yesus menjadi tokoh sejarah yang membawa pembaharuan. Dia juga Martir yang mengorbankan daraNya untuk pembaharuan dunia.
Sebagai orang beriman, kita mesti belajar dari teladan kemartiran St Karolus Lwanga dan kawan kawan, serta kemartiran Yesus. Kemartiran mereka adalah kemenangan Gereja hingga sekarang ini. Kemenangan itu bukan untuk menguasai (sebagaimana konsep umum), tetapi kemenangan untuk membumikan kerajaan Allah yang penuh dengan cinta kasih, kedamaian, dan kesejahteraan. Oleh karena itu, kemartiran yang mesti kita bangun dalam konteks zaman sekarang ialah membumikan dan mengusahakan terbentuk, terpelihara, dan tersebarnya cinta kasih, kesejahteraan, dan damai sejahtera. Semangat kemartiran adalah semangat cinta kasih. Kemartiran kita sekarang tidak sesulit para martir dahulu, tetapi sesederhana mencinta walau berkekurangan, sesederhana memberi walau berkecukupan, sesederhana terlibat walau punya cukup kemampuan. Jika semuanya tercapai, kita adalah penggarap kebun anggur yang baik, dan kita juga menikmati hasilnya. Tuhan memberkati.