Hari ini Gereja Katolik sejagad memperingati tiga orang kudus yang fenomenal, salah satunya dari Asia, Korea. Ketiganya menjadi teladan pewartaan Injil yang tidak takut pada ancaman atau penghinaan bahkan kematian sekalipun.
1. Santo Felix dari Nicosia Felice di Nicosia, Filipo Giocomo Amoroso
Santo Felix dari Nicosia, O.F.M. Cap, (Italia: Felice di Nicosia) adalah seorang biarawan Fransiskan Kapusin yang kudus dan penuh dengan karunia ajaib. Ia dilahirkan di Nicosia, Pulau Sisilia Italia pada tanggal 5 November 1715, dan dibabtis dengan nama Fillipo Giacomo Amoroso. Filippo kecil selalu bekerja membantu ayahnya yang adalah seorang pembuat sepatu. Toko sepatu ayahnya terletak didekat sebuah biara kapusin; karena itu sejak kecil, ia sudah mengenal para biarawan dan mengagumi cara hidup mereka.
Pada usia 20 tahun, ia meminta pada superior biara Kapusin di Nikosia untuk menyampaikan permohonannya kepada Provinsial biara di Messina agar bisa diterima sebagai seorang Bruder. Permohonannya ditolak karena ia adalah seorang buta huruf yang tidak bisa membaca dan menulis. Namun Fillipo tidak patah arang. Setiap tahun Ia kembali lagi mengajukan permohonan. Setelah delapan tahun, melihat kesetiaannya mengajukan permohonan dan kesungguhannya untuk menjadi seorang biarawan, akhirnya ia diterima juga dan dikirim untuk menjalani novisiat di Mistretta.
Fillipo masuk novisiat Kapusin pada tanggal 19 Oktober 1743 dan diberi nama Bruder Felix. Ia mengucapkan kaulnya sebagai seorang biarawan Ordo Fransiskan Kapusin setahun kemudian.
Tidak seperti biasanya, Provinsial biara Kapusin menugaskan Bruder Felix di Kota kelahirannya. Ini sangat bertentangan dengan norma umum yang berlaku dalam biara Kapusin pada saat itu, dimana seorang biarawan muda biasanya akan ditempatkan jauh dari tempat asal mereka. Kehadiran keluarga dan teman-teman lama dianggap dapat menjadi godaan untuk kembali menjalani kehidupan duniawi dan mengganggu perkembangan rohani mereka. Namun karena kehidupan rohani Bruder Felix yang begitu kudus, para atasannya membuat sebuah pengecualian baginya.
Dikota kelahirannya, Bruder Felix ditugaskan menjadi seorang quaestor, yaitu sebagai biarawan pengemis yang tugasnya berkeliling di wilayah sekitar biara untuk meminta-minta dan mengumpulkan sedekah bagi kelangsungan hidup biara. Setiap hari ia akan berkeliling kampung halamannya dan mengetuk pintu rumah para kerabat dan sahabatnya untuk meminta-minta sedekah. Tugas ini sungguh sangat berat untuk dijalani. Hinaan dan ejekan dari orang-orang yang mengenalnya akan selalu diterimanya disepanjang perjalanan. Namun apapun yang diterimanya; Bruder Felix akan tetap tersenyum. Kelembutan hatinya sedemikian rupa sehingga ia akan selalu berkata “Terima kasih”. Bahkan ketika ia diperlakukan dengan sangat kasar, ia akan berseru : “Biarkanlah ini terjadi demi cinta kepada Tuhan.”
Ia memiliki devosi yang sangat mendalam kepada Yesus dan Bunda Maria. Setiap hari Jumat, ia akan berpuasa merenungkan sengsara dan wafat Kristus dan pada setiapo hari Jumat dalam masa prapaskah, ia akan berpuasa berat dengan hanya makan sekerat roti dan segelas air. Ia juga memiliki rasa hormat dan cinta yang mendalam kepada Sakramen Mahakudus. Sering menghabiskan waktu selama berjam-jam untuk berdoa di depan tabernakel, bahkan setelah mengalami cobaan yang keras setiap hari.
Kekudusannya membuat ia diberkahi Tuhan dengan karunia penyembuhan bagi berbagai macam penyakit, fisik maupun rohani. Dia juga dianugerahi kemampuan untuk bisa hadir di dua tempat berbeda pada saat yang bersamaan (bilokasi); sama seperti penerusnya seorang biarawan Kapusin di zaman modern, Santo Padre Pio.
Pada saat wabah penyakit menyerang kota Cerami di bulan Maret 1777; Bruder Kudus ini dimintai pertolongan untuk dapat membantu menyembuhkan para korban. Dengan penuh semangat Bruder Felix datang dan membantu para pasien. Ia menghibur para korban dan melakukan banyak penyembuhan ajaib bagi mereka.
Selama 33 tahun Bruder Felix hidup di bawah seorang wali yang merasa bahwa adalah tugasnya untuk membuat Felix menjadi seorang Kudus. Wali ini membuat Felix harus menjalani kehidupan yang sangat keras dan penuh dengan penghinaan; namun semuanya itu dengan penuh kerendahan hati dapat dijalani dengan baik olehnya.
Pada bulan Mei tahun 1787 Bruder yang kudus ini terserang demam tinggi secara tiba-tiba saat sedang bekerja di kebun. Ia berkata kepada dokter yang memeriksanya bahwa obat-obatan tidak akan bisa menyembuhkannya, karena ini adalah penyakitnya yang terakhir. Dia begitu menghormati kaul ketaatan pada Ordonya, karena itu ia masih sempat meminta kepada walinya izin untuk mati.
Bruder Felix tutup usia pada tanggal 31 Mei 1787 pada jam dua pagi. Ia di beatifikasi pada tanggal 12 Februari 1888 oleh Paus Leo XIII dan dikanonisasi pada tanggal 23 Oktober tahun 2005 oleh Paus Benediktus XVI.***
Beruntung, Sukses (Latin)
Phelix (Biblical Greek), Feliu (Catalan), Félicien, Félix (French), Felice, Feliciano (Italian), Felicianus, Felicius (Late Roman), Felicjan, Feliks (Polish), Feliciano, Félix (Portuguese), Feliks (Russian), Feliks (Slovene), Feliciano, Félix (Spanish)
Santa Camilla Battista da Varano lahir pada tanggal 9 April 1458 di Camerino, Macerata, Italia, dalam keluarga aristokrat Italia yang kaya-raya. Ayahnya adalah pangeran Giulio Cesare da Varano, Duke of Camerino dan ibunya juga seorang wanita ningrat bernama Cecchina di Maestro Giacomo. Sebagai seorang puteri bangsawan, Camilla menerima pendidikan dari guru-guru terbaik dimasa itu, dan sangat berbakat dalam Retorika dan Tata-bahasa.
Saat berusia 9 tahun, Camilla kecil mendengarkan homili hari Jum'at Agung dari seorang biarawan Fransiskan bernama Domenico di Leonessa. Khotbah tentang Sengsara Yesus ini begitu menyentuh, sampai ia menangis tersedu-sedu di dalam Gereja.
Pada masa Prapaskah 1479 Camilla kembali mendengarkan khotbah yang menggetarkan hati dari seorang biarawan Fransiskan bernama Francesco di Urbino. Kata-kata biarawan yang dijuluki "sangkakala Roh Kudus" ini membuat hatinya bergetar hebat. Setelah rutin mendengarkan khotbah-kotbah dari don Francesco, Camilla mulai mendengar panggilan Tuhan didalam dirinya untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Keinginannya menjadi biarawati segera ditentang keras oleh sang ayah yang telah mempersiapkan perjodohannya. Namun Camilla teguh mempertahankan panggilannya dan tetap memutuskan untuk menjadi pengantin Kristus.
Saat berusia 21 tahun, camilla masuk sebuah biara suster dan mengucapkan kaulnya pada tanggal 24 Maret 1479 bertepatan dengan hari raya Santa Maria menerima khabar gembira dari malaikat Tuhan. Dua tahun pertamanya sebagai seorang biarawati adalah perjuangan pahit melawan godaan dan cobaan yang berat. Selain sikap keluarganya yang tetap menentang pilihan hidupnya, Camilla juga harus menghadapi ejekan dan gosip dari sesama biarawati yang merasa aneh melihat seorang puteri bangsawan meninggalkan kastil yang megah untuk menjadi seorang biarawati miskin.
Pada tanggal 17 April 1479, Camilla pindah ke biara Klaris (OSC = Ordo Santa Clara) di Urbino Italia yang lebih kontemplatif dan memiliki regula (aturan hidup membiara) yang lebih ketat. Dalam biara inilah Camilla mengalami peningkatan kehidupan rohani yang luar biasa. Ia menjadi seorang suster yang sederhana dan penuh disiplin yang selalu hidup dalam doa dan meditasi. Ia akan berdoa sepanjang malam dan mengawali pagi harinya dengan menerima sakramen tobat. Camilla kemudian diberkati Tuhan dengan Karunia penglihatan dan kerap menerima penampakkan dari para kudus dan para malaikat. Penampakkan-penampakkan Ilahi ini membuka pikirannya untuk memahami konsep-konsep teologi yang kelak dituangkan dalam tulisan-tulisannya. Camilla mengintensifkan meditasinya pada sengsara Kristus hingga dapat meresapi dan merasakan penderitaan sang Juru Selamat secara nyata, fisik maupun mental. Pada masa ini ia menulis buku “Ricordi di Gesu”, sebuah panduan meditasi dalam bentuk sebuah surat dari Yesus kepadanya.
Pada tanggal 4 Januari 1484 Camilla da Varano ditunjuk menjadi Abbess (kepala biara susteran) biara Santa Maria Nouva di kota kelahirannya, Camerino. Biara ini terletak dekat istana ayahnya dan baru selesai dipugar sang ayah untuk membuat putrinya berada dekat dengannya. Dengan kekuasaannya, pangeran Guilio Cesare da Varano menekan Vikaris Jenderal Ordo Fransiskan, yang memiliki otoritas atas Ordo Santa Clara, untuk menempatkan suster Camilla di biara yang telah ia pugar tersebut. Camilla menolak keras pindah ke Camerino karena campur tangan ayahnya. Namun ia pindah juga setelah diingatkan akan kaul ketaatannya.
Di biara Camerino, Camilla da Varano menulis beberapa buku diantaranya : I dolori mentali di Gesu nella sua Passione (Kesedihan Hati Yesus Saat Menderita Sengsara), yang berisikan renungan panjang mengenai Sengsara Yesus. Antara tanggal 27 Februari dan 13 Maret 1491 Camilla menyusun Vita Spirituale (hidup Spiritual), buku Autobiografinya yang adalah sebuah surat yang panjang untuk don Domenico di Leonessa, biarawan Fransiskan yang telah mengilhami tetesan air matanya saat ia berusia 9 tahun. Dalam Vita Spirituale Camilla mengucapkan terima kasih kepada don Domenico dan menceritakan bagaimana ia telah mengilhami perjalanan hidup spiritualnya.
Pada tahun 1505, Paus Julius II mengirim Suster Camilla ke kota Fermo untuk membangun biara Kalaris di kota itu. Ia pergi dan tinggal disana selama dua tahun lalu kembali ke Camerino. Pada 1521 Camilla diutus ke San Severino Marche untuk membimbing sebuah komunitas biarawati yang baru saja mengadopsi Regula Santa Klara. Disini ia menulis karyanya yang terakhir : Trattato della Purita di cuore yang ia dedikasikan kepada Vikaris Jendral Fransiskan, Giovanni di Fano.
Suster Camilla Battista da Varano tutup usia di biara Klaris di Camerino pada tanggal 31 Maret 1524. Ia dibeatifikasi pada tanggal 7 April 1843 oleh Paus Gregorius XVI dan dikanonisasi pada 17 Oktober 2010, oleh Paus Benediktus XVI. Tubuhnya yang masih tetap utuh, saat ini disemayamkan di biara Santa Klara, Camerino, Macerata, Italia.
Kamilla adalah Bentuk Feminim dari nama Romawi : Kamillus.
Kamillus = nama Romawi yang berasal dari kata Latin : "Camillus" yang berarti : "pelayan atau Petugas (religius)" Sumber : Katakombe.Org
Camille (English), Kamilla (Danish), Kamilla (Swedish), Kamilla (Norwegian), Kamila (Czech), Camille (French), Kamilla (Hungarian), Kamilė (Lithuanian), Kamila (Polish), Camila (Portuguese), Kamila (Slovak), Camila (Spanish)
Bentuk Pendek : Cammie, Millie, Milly (English), Milla (Danish), Milla (Swedish), Milla (Norwegian), Milla (Finnish)
Bentuk Maskulin : Kamilus (Indonesian), Camillo (Italian), Camillus (Ancient Roman)
Zhou Wen-mo lahir pada tahun 1752 di Su-Tcheou, Provinsi Jiang-nan, Tiongkok. Kedua orang tuanya meninggal ketika dia masih anak-anak dan ia dibesarkan oleh seorang bibinya. Ia mengenal ajaran iman Katolik melalui pewartaan para missionaris dan dibabtis dengan nama Yakobus. Ia lalu masuk seminari keuskupan di Beijing, dan ditahbiskan menjadi imam lulusan pertama dari seminari tersebut.
Pada waktu itu, Uskup Alexandre de Gouvea dari Beijing tengah berpikir untuk mengirimkan seorang misionaris ke Korea. Beliau lalu menunjuk pater Yakobus Zhou untuk menjadi misionaris di semenanjung Korea. Bapa Uskup memilihnya berdasarkan kemampuan yang diperlukan dalam menjalankan pelayanannya.
Yakobus Zhou meninggalkan Beijing pada bulan Februari 1794. Ia dijemput secara rahasia oleh dua orang utusan Gereja Katolik Korea, Sabas Ji-Hwang dan Yohanes Pak, di didekat perbatasan Tiongkok – Korea. Namun mereka tidak bisa segera menyeberang ke Korea karena harus menunggu sampai Sungai Yalu (orang Korea menyebutnya: Sungai Amnok) membeku, agar dapat diseberangi. Sambil menanti datangnya musim dingin, pater Zhou mengunjungi umat Katolik di wilayah Liao-dong dan tinggal disitu selama beberapa bulan. Dia baru bisa menyeberangi Sungai Yalu tanggal 24 Desember 1794 dengan menyamar sebagai orang Korea.
Pater Yakobus Zhou tiba di Seoul dan tinggal di rumah Matias Choe In-gil, di wilayah Gyedong (Sekarang Gye-dong, Jongno-gu, Seoul). Dia mulai belajar bahasa Korea dan merayakan misa perdananya bersama umat Katolik Korea pada hari Minggu Paskah tahun 1795. Setelah beberapa waktu, keberadaannya diketahui oleh polisi Kerajaan dan mereka berupaya untuk menangkapnya. Dalam sebuah penggrebekkan Pater Yakobus Zhou berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di rumah Kolumbanus Kang Wan-suk. Namun para katekisnya, Beato Paulus Yun Yu-il dan Beato Sabas Ji-Hwang, serta pemilik rumah Beato Matias Choe In-gil tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Mereka bertiga kemudian gugur sebagai martir Kristus.
Walau dikejar-kejar oleh polisi Kerajaan, Yakobus Zhou tetap merayakan misa bersama umat Katolik Korea secara sembunyi-sembunyi. Ia juga berkeliling memberikan pelayanan Sakramen dan membentuk Myeongdohoe, sebuah perkumpulan awam untuk belajar Katekese dan Kitab Suci. Dia juga menulis buku Katekismus dalam bahasa Korea. Dalam waktu enam tahun karyanya sebagai misionaris, umat Katolik di Korea mulai bertumbuh dari empat ribu orang menjadi Sepuluh Ribu orang.
Pada tahun 1800, Raja Jeongjo (Raja ke-22 dari Dinasti Joseon) meninggal dunia dan digantikan oleh puteranya Pangeran Sun-jo yang saat itu masih berusia sebelas tahun. Pergantian kekuasaan ini memiliki dampak politik dimana kekuasaan berpindah-pindah dari satu fraksi ke fraksi lain. Gereja Katolik Korea yang baru saja bertumbuh terjebak dalam pertarungan politik. Penganiayaan terhadap Gereja Katolik mulai terjadi pada tahun 1801 dan dikenal sebagai masa Penganiayaan Sinyu. Umat Katolik satu per satu mulai ditangkapi dan dimasukkan ke dalam penjara. Mereka lalu disiksa agar murtad dan meninggalkan iman mereka akan Yesus Kristus. Ribuan Umat Katolik Korea tewas sebagai saksi Kristus pada masa penganiayaan ini.
Pater Yakobus Zhou sangat sedih mendengar tentang penyiksaan yang dialami oleh umatnya. Ia mulai berpikir bahwa umat Katolik Korea terbunuh gara-gara dia. Karena itu ia memutuskan untuk kembali ke Tiongkok. Namun, beberapa waktu kemudian ia berubah pikiran. “Aku harus berbagi nasib dengan umatku dan meringankan penganiayaan dan kemartiran mereka.” katanya. Ia lalu memutuskan untuk menyerahkan diri.
Pada tanggal 11 Maret, Yakobus keluar dari tempat persembunyiannya dan muncul dihadapan para penganiaya. Dengan segera ia ditahan dan diinterogasi. Meskipun ia telah disiksa dengan kejam, imam ini tetap menjawab pertanyaan para penyiksanya dengan bijak dan hati-hati.
“Satu-satunya alasan saya datang ke Korea, dengan ditemani Sabas Ji-Hwang, dan melewati berbagai ancaman marabahaya di perbatasan, adalah karena saya mencintai orang Korea. Ajaran Yesus tidak jahat. Melakukan perbuatan yang merugikan orang lain ataupun negara, itu dilarang oleh Sepuluh Perintah Allah, namun demikian, saya tidak dapat melaporkan mengenai urusan Gereja.”
Ia terus-menerus menjalani penyiksaan selama mendekam dipenjara. Pada akhirnya para penganiaya menyadari bahwa mereka tidak akan memperoleh keterangan apapun darinya. Dengan marah mereka lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya berdasarkan hukum militer. Ia akan dipenggal dan kepalanya akan digantung di gerbang perkemahan (mungkin kamp Militer).
Pada tanggal 31 Mei 1801 (19 April berdasarkan penanggalan Lunar), Pater Yakobus Zhou yang saat itu berusia 49 tahun dipenggal di Saenamteo, di dekat sungai Han. Saat hukuman mati berlangsung para saksi mata menuturkan :
“Langit yang cerah tiba-tiba menjadi gelap. Sebuah badai yang hebat menerbangkan bebatuan di sekitarnya. Jarak pandang hanya satu inchi karena hujan yang lebat. Begitu eksekusi selesai, awan-awan menghilang. Sebuah pelangi yang terang muncul di langit. Kemudian menghilang ke langit sebelah timur laut.”
Yakobus Zhou Wen-Mo adalah salah seorang dari 103 martir Korea. Ia dibeatifikasi pada tanggal 15 August 2014 oleh Paus Fransiskus.
Berasal dari bahasa Latin : Iacomus; yang diturunkan dari bahasa Yunani Ιακωβος (Iakobos). Asli nya berasal dari nama Ibrani יַעֲקֹב (Ya'aqov) yang berarti : Pemegang Tumit / Pengganti (Kej 25:26)
Jacob, James, Coby, Jae, Jake, Jamey, Jay, Jaycob, Jaymes, Jeb, Jem, Jemmy, Jim, Jimi, Jimmie, Jimmy, Koby (English), Jacob, Jakob (Dutch), Iacomus (Late Roman), Yakub, Yaqub (Arabic), Hagop, Hakob (Armenian), Jakes (Basque), Jacob, James (Biblical), Iakobos (Biblical Greek), Yaakov (Biblical Hebrew), Iacobus (Biblical Latin), Yakov (Bulgarian), Jaume, Jaumet (Catalan), Jago (Cornish), Jakov, Jakob, Jakša (Croatian), Jakub (Czech), Jacob, Jakob, Ib, Jeppe (Danish), Jaagup, Jaakob, Jakob, Jaak (Estonian), Jaakoppi, Jaakko, Jaska (Finnish), Jacques (French), Iago (Galician), Jakob (German), Iakopa, Kimo (Hawaiian), Yaakov, Yakov, Akiba, Akiva (Hebrew), Jakab, Jákob (Hungarian), Séamus, Shamus, Sheamus, Séamas (Irish), Giacobbe, Giacomo, Jacopo, Iacopo, Lapo (Italian), Jokūbas (Lithuanian), Jakov (Macedonian), Hemi (Maori), Jacob, Jakob (Norwegian), Jakub, Kuba (Polish), Jaime, Iago, Jacó (Portuguese), Yakov, Yasha (Russian), Hamish, Seumas (Scottish), Jakub (Slovak), Jakob, Jaka, Jaša (Slovene), Jacobo, Jaime, Yago (Spanish), Jacob, Jakob (Swedish), Yakup (Turkish), Yakiv (Ukrainian), Iago (Welsh), Kapel, Koppel, Yankel (Yiddish)
BENTUK PENDEK : Cobus, Coos, Jaap, Kobus, Koos, Sjaak, Sjakie (Dutch)
BENTUK FEMINIM : Jacoba, Jacobina, Jacobine (Dutch)