Cerpen Karya Aldy, OMK Paroki St. Eduardus Watunggong.
“Lika-liku”
Oleh : Sajakimia
Pancaran langit semakin meredup ketika langkahku berayun menapaki perjalanan pulang. Kebisingan merajam setiap sudut telinga. Kuda besi lalu lalang tak beraturan membuatku penuh kewaspadaan.
“Sial! Pasti telat lagi,” ujarku dalam hati.
Kumandang adzan magrib perlahan muncul dari kejauhan bersamaan dengan langkah kaki yang dipercepat mengingat harus mampir membeli sesuatu untuk dibawa pulang.
“Nak, mau beli apa?” suara yang perlahan merusak lamunanku. Muncul seorang wanita paruh baya dengan sorot mata yang begitu tajam tapi tetap memberikan aura kekeluargaan.
“Seperti biasa ya, Bu. Maklum, tadi pulangnya telat. Hehehehe,” usahaku mencari alasan. Ibu penjual yang sudah lama menjadi langgananku setiap kali pulang kerja.
Tak banyak bahan obrolan mengingat aku yang dikejar waktu.
“Aku pulang dulu ya, Bu” ujarku sembari menenteng sebuah kresek berisi bekal untuk pulang.
“Hati-hati yo, nak. Jaga kesehatanmu sama jangan lupa titip salam buat ibumu,” ucapnya mengantar kepergianku pulang ke rumah. Hanya sebuah senyuman manis yang bisa kubalas lalu bergegas pergi.
***
Gemerlap bintang malam menjadi saksi ketika langkahku berhenti di depan sebuah rumah. Remang-remang cahaya lampu menyebar di setiap sudut terasnya. Hembusan angin malam begitu dingin membuat sekujur tubuh perlahan bergetar.
Perlahan aku melangkah menuju sebuah pintu kayu berwarna coklat yang lekang dimakan waktu.
Tok...tok...tok
Ketukan pintu memecah keheningan malam. Beberapa saat kemudian, muncul seorang wanita tua dibalik pintu.
“Baru pulang?” ujarnya sambil membuka pintu.
“Iya. Tadi banyak kerjaan” jawabku sembari mencium punggung tangannya. Tak lupa juga aku memberikan bingkisan yang ku beli tadi.
“Ayo masuk. Di dapur ada air hangat buat mandi. Nanti, kalau kelar mandi, langsung ke meja makan. Kita makan bersama” pintanya.
Nyatanya , inilah suasana ketika aku pulang. Tidak seperti orang lain yang begitu meriah, aku sudah terbiasa dengan keadaan ini. Aku beranjak ke kamar mandi meninggalkan wanita yang ku panggil “Ibu” .
10 menit berlalu.
Seketika pandangan terarah ke meja makan kecil yang berbentuk bulat. Ibu sudah menunggu sedari tadi. Aku mengambil kursi lalu duduk di seberangnya. Lantunan musik terdengar dari radio usang di sudut ruangan menemani suasana makan malam itu. Tidak banyak yang dibicarakan. Hanya sedikit percakapan seputar pekerjaan antara aku dan dia.
“Mau temani ibu barang sebentar di depan?” ujarnya.
“Nggih, Bu. Boleh” jawabku lalu kembali menyuap sendok terakhir ke dalam mulut.
***
Beberapa tembang kenangan menemani malam selepas mengisi perut. Suara nyaring terdengar dari arah radio kecil peninggalan Ayah di sudut ruangan. Terlihat dari arah berlawanan seorang wanita tua sedang berdiam diri di teras rumah . Setelah beres membersihkan sisa makanan serta perlengkapan makan yang ada, aku berinisiatif menyeduh kopi menemani suasana malam hari.
Ku buatkan dua gelas, satu untukku dan satu lagi untuknya. Aku beranjak membawakan minuman ke arahnya. Di sudut teras terlihat ibu yang sedari tadi duduk di kursi ayun. Sebuah syal hangat melingkar di leher mungilnya. Aku mengambil tempat di sebelahnya, melepaskan penat serta lelahku sambil menyeruput kopi buatan sendiri. Angin malam kali ini rasanya tidak begitu menusuk. Pikirku. Seakan-akan langit, angin, alam dan burung sedang dalam kondisi hati yang baik-baik saja.
Suara hewan malam begitu indah tatkala sesekali menyeruak di antara keheningan. Aku dan ibu tidak terganggu sedikitpun dengan hal itu. Bagi aku dan ibu, bunyi-bunyian tadi adalah secuil refleksi yang tepat melepaskan semua kepenatan. Kadang aku atau ibu pun bisa terlelap sembari mendalami melodi malam tersebut. Sangat indah, tenang namun syahdu seperti biasanya.
“Nak, bagaimana rencana pernikahannya?”
Glek!
Pertanyaan tiba-tiba menusuk alam bawah sadarku. Lama tak kujawab namun dari matanya aku tau dia sedang menunggu jawaban pasti.
“Secepatnya ya, Bu. Aku juga masih ngumpulin modal buat acaranya. Nanti kita sesuaikan acaranya dengan modal yang ada ya,Bu” ujarku sambil tersenyum.
Tak ada jawaban. Ibu hanya menghela nafas panjang.
"Tapi Ibu mau acaranya meriah," kata-kata yang serupa besi berkilo-kilo dijatuhkan tepat di atas dompet tipisku. Aku tersentak tapi berusaha tetap tenang di hadapannya.
"Memang, tidak bisa ya jadi seadanya saja?" Tanyaku manakala kedua tanganku tengah khusyuk memijit kepala. Sesekali aku curi pandang agar mengetahui responnya.
Agaknya angin paham betapa dingin kata-kata itu dilontarkan dari si empunya mulut. Angin bergegas membalutku yang menggigil. Belum usai pening di kening, hati ikut-ikutan nyeri.
"Seadanya itu seperti apa? Seperti sebutir kuaci yang masih layak dikupas? Atau seperti tetes terakhir air di dispenser?” Balasnya.
Aku terdiam. Begitulah ibu. Untuk kebahagiaan anaknya pun dia rela berkorban. ‘Hanya sehari saja aku rela menghamburkan uang’. Barang sehari saja demi anaknya.
Aku, entah kenapa, merasa dia terlalu naif. Tapi boleh juga.
"Kecilan-kecilan saja ya?" Tanyaku.
"Iya, yang penting kita saling ada saja. Boleh?" Jawabnya.
Aku mengangguk.
Perlahan aku mengambil posisi santai. Dari sebelah, ibu tersenyum puas. Dia senang. Tanpa sadar, mataku sembab. Tapi apa hendak dikata.
Setelahnya, aku dan dia kembali menyeruput kopi sembari menikmati setiap keindahan malam.
***