Saya bermimpi Indonesia pun mampu berdiri di titik itu: titik di mana keberagaman bukan lagi sumber perpecahan, melainkan sumber kekuatan. Titik di mana mahasiswa menjadi motor perubahan tanpa harus menorehkan luka. Titik di mana pemerintah mengayomi dengan kasih, bukan dengan kata-kata yang menyakitkan. Indonesia menjadi damai dan makmur ketika kita semua bersatu, bersama-sama sehati tanpa ada kecurangan dalam membangun negeri
Di negeri yang jauh dari tanah kelahiran, saya duduk termenung menatap layar berita. Jakarta, sekali lagi, menjadi panggung kemarahan: mahasiswa berbaris di jalan, suara-suara muda menyatu dalam teriakan, dan aparat keamanan berdiri berhadap-hadapan. Damai yang diimpikan buyar menjadi kericuhan, meninggalkan jejak luka dan retakan dalam hati bangsa.
Saya menulis ini dengan jujur dan penuh rasa sedih. Tiga tahun saya hidup dan bekerja di Vietnam, negara dengan sistem pemerintahan sosialis yang sering dipandang kaku. Namun justru di sini saya menemukan ketenangan yang tak saya dapati di tanah air. Sepanjang masa itu, belum pernah sekali pun saya melihat demonstrasi. Tidak ada pawai amarah di jalan-jalan, tidak ada baku hantam antara rakyat dan aparat. Yang saya temukan justru kehidupan sehari-hari yang sederhana: orang-orang bekerja, anak-anak bersekolah, dan pemerintah menanamkan satu hal yang mendasar kesadaran bahwa negeri ini dibangun bersama, bukan dirusak bersama.
Pada 2 September 2025 ini, Vietnam merayakan 80 tahun kemerdekaannya. Sebuah tonggak yang lahir dari darah, air mata, dan cinta seorang pemimpin bernama Hồ Chí Minh. Ia bersahabat karib dengan Bung Karno, presiden pertama Indonesia. Dua tokoh besar ini pernah berjalan seiring, menenun harapan bagi bangsa mereka. Namun kini, saya bertanya pada diri sendiri: mengapa Vietnam tampak lebih damai, sementara Indonesia, negeri dengan kekayaan agama dan budaya yang tak tertandingi, justru sering terjebak dalam lingkaran amarah?
Vietnam dan Idealisme Partisipatif
Pertanyaan itu pernah saya sampaikan kepada beberapa sahabat di bidang pemerintahan Vietnam. Jawaban mereka sederhana, namun sarat makna: “Kami menanamkan idealisme pembangunan partisipatif. Setiap warga negara punya tanggung jawab untuk membangun negeri, termasuk kaum terpelajar. Tugas mahasiswa bukanlah menghabiskan waktu untuk mengkritik pemerintahan, tetapi belajar dengan sungguh-sungguh. Setelah selesai belajar, mari kita bangun negeri ini bersama. Apa yang belum sempurna, biarlah generasi berikutnya menyempurnakan.”
Jawaban itu menohok sekaligus meneduhkan. Ada kesadaran kolektif bahwa pembangunan bukanlah milik segelintir elite, melainkan tanggung jawab bersama. Ada pengakuan bahwa negara ini tidak sempurna, tetapi kekurangan itu bukan alasan untuk menghancurkan, melainkan panggilan untuk menyempurnakan.
Di jalan-jalan Hanoi, Saigon, dan kota-kota kecil lainnya, saya menyaksikan wajah rakyat yang sederhana, tetapi penuh hormat kepada tanah airnya. Mereka tidak sibuk menghitung kesalahan pemerintah, tetapi tekun menanam benih partisipasi. Ada kesepakatan diam-diam bahwa membangun negeri lebih berharga daripada merobohkannya.
Indonesia dan Luka di Jalanan
Berbeda dengan yang saya lihat di berita dari tanah air. Demonstrasi yang semestinya menjadi ruang artikulasi gagasan, kerap berubah menjadi amuk dan kerusakan. Gedung-gedung retak, jalan-jalan macet, luka-luka lahir dan batin tertinggal. Mahasiswa, yang dahulu dielu-elukan sebagai motor perubahan, kadang tergelincir menjadi pion kepentingan politik. Aparat yang seharusnya melindungi, kadang kehilangan kendali hingga menyakiti. Pemerintah yang seharusnya merangkul, justru melepaskan pernyataan yang melukai hati rakyat.
Saya tidak menafikan bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi. Namun ketika kritik berubah menjadi caci maki, dan protes berubah menjadi kekerasan, di situlah kita sedang mengiris daging bangsa kita sendiri. Apalagi jika para pemimpin hanya membalas dengan kalimat dingin yang memperlebar jarak dengan rakyat.
Di sinilah letak luka kita: kita terlalu pandai menuding, tetapi belum cukup bijak untuk merangkul. Kita memiliki ratusan suku, ribuan bahasa, dan puluhan agama serta aliran kepercayaan, tetapi keberagaman itu terlalu sering berhenti sebatas institusi tak sempat menjadi laku hidup yang mempersatukan.
Damai Bukan Diam, Kritik Bukan Amarah
Ada yang perlu kita sadari bersama: damai bukan berarti diam, dan kritik bukan berarti amarah. Damai adalah kemampuan untuk mengartikulasikan perbedaan dengan cinta. Kritik adalah cara untuk mengoreksi, bukan menghancurkan.
Saya percaya mahasiswa Indonesia adalah generasi emas yang penuh daya cipta. Namun energi itu akan sia-sia jika hanya dihabiskan untuk membakar ban di jalanan. Betapa indahnya jika energi itu dialihkan untuk menulis, meneliti, mencipta teknologi, atau membangun komunitas. Seperti kata sahabat-sahabat saya di Vietnam: belajarlah dengan sungguh-sungguh hari ini, agar besok kau dapat membangun negeri dengan tanggung jawab.
Demikian pula pemerintah: alih-alih merespons dengan arogansi, merangkul jauh lebih berharga. Kata-kata seorang pemimpin adalah obat atau racun. Pilihlah untuk menjadi obat yang menenangkan luka rakyat, bukan racun yang menambah perih.
Harapan dari Negeri Damai
Sebentar lagi, Vietnam akan berdiri tegak merayakan delapan dasawarsa kemerdekaannya. Dari negeri ini, saya belajar bahwa damai bukan hadiah, melainkan kesadaran. Bahwa cinta kepada sesama lebih kuat daripada ideologi apa pun.
Saya bermimpi Indonesia pun mampu berdiri di titik itu: titik di mana keberagaman bukan lagi sumber perpecahan, melainkan sumber kekuatan. Titik di mana mahasiswa menjadi motor perubahan tanpa harus menorehkan luka. Titik di mana pemerintah mengayomi dengan kasih, bukan dengan kata-kata yang menyakitkan.
Bung Karno dan Ho Chí Minh pernah bersahabat, bukan hanya karena keduanya pejuang kemerdekaan, tetapi karena mereka memahami makna sejati sebuah bangsa: bangsa ada untuk rakyat, bukan rakyat ada untuk bangsa.
Hari ini, dari Vietnam yang damai, saya menuliskan pesan sederhana ini. Semoga ia sampai ke tanah air, mengetuk hati para mahasiswa, aparat, dan pemerintah. Mari kita belajar dari sahabat yang jauh, agar Indonesia kembali menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang besar, bukan bangsa yang mudah dipecah.
Salam hormat penuh kasih,
Pater Kasianus Nana Seran, SDV
Misionaris Katolik dan Warga Nusa Tenggara Timur, berdomisili di Vietnam.
_Thanh Hoa, 30_08_2025